Amerika Serikat Memilih Tidak Terlibat dalam Perlombaan Senjata Nuklir dengan Rusia dan China

Amerika Serikat Memilih Tidak Terlibat dalam Perlombaan Senjata Nuklir dengan Rusia dan China

Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk tidak terlibat dalam perlombaan senjata nuklir ala Perang Dingin melawan Rusia dan China. Menurut Washington, kehancuran ekonomi Uni Soviet karena ambisi senjata atomnya menjadi pelajaran berharga bagi Amerika. Kepala Badan Keamanan Nuklir Nasional, Jill Hruby, menyatakan bahwa AS tidak akan mencoba untuk membangun lebih banyak senjata nuklir daripada Rusia dan China dalam beberapa dekade mendatang, meskipun ada rencana modernisasi persenjataan nuklir senilai USD1,7 triliun yang sedang berlangsung.

“Perlombaan senjata nuklir tidak akan memberikan manfaat kepada siapa pun,” kata Hruby, yang lembaganya bertanggung jawab membangun dan menyimpan senjata nuklir Amerika, dalam sebuah acara di lembaga pemikir Hudson Institute. Para ahli pengendalian senjata juga memperingatkan bahwa panggung telah disiapkan untuk perlombaan senjata tiga arah baru yang mahal dengan Rusia dan China. Perjanjian terakhir yang masih ada antara Rusia dan AS yang membatasi penyebaran senjata nuklir—New START—akan berakhir pada awal tahun 2025.

Pejabat Pentagon memperkirakan bahwa China, yang tidak terikat oleh batasan perjanjian mengenai jumlah hulu ledak nuklirnya, saat ini memiliki lebih dari 600 senjata nuklir dan berencana untuk meningkatkan persenjataannya menjadi 1.000 atau lebih pada tahun 2030. Rusia memiliki 5.580 senjata nuklir, sementara AS memiliki 5.044, menurut Federasi Ilmuwan Amerika. Hruby memperingatkan agar kita tidak mengambil kesimpulan yang salah dari perlombaan senjata Perang Dingin yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Meskipun Moskow membangun lebih banyak hulu ledak nuklir—yang mencapai lebih dari 40.000 pada 1980-an—upaya tersebut justru menghancurkan ekonomi Uni Soviet dan akhirnya menyebabkan pembubarannya pada tahun 1991. “Itu bukan cara kita untuk menang [hari ini],” kata Hruby, yang dikutip oleh USA Today, Jumat (17/1/2024). “Membangun banyak senjata dalam jangka panjang sepertinya bukan strategi yang tepat,” tambahnya.

Sebaliknya, Hruby menekankan bahwa pemerintahan AS di masa depan harus lebih unggul dalam berpikir cerdas terhadap Rusia maupun China untuk berhasil menghalangi, atau bahkan mencegah, potensi penggunaan senjata nuklir mereka. Namun, mantan pejabat dari pemerintahan Presiden terpilih Donald Trump, Robert O’Brien, berpendapat sebaliknya. O’Brien, yang merupakan penasihat keamanan nasional Trump dari tahun 2019 hingga 2021, menulis pada bulan Juni 2024: “AS harus tetap mempertahankan keunggulan teknis dan numerik atas gabungan persediaan nuklir China dan Rusia.”

O’Brien dan pejabat lain yang mendukung Trump juga meyakini bahwa AS harus melanjutkan uji coba senjata nuklir bawah tanah. Uji coba senjata nuklir AS terakhir dengan tembakan langsung terjadi pada tahun 1992, meskipun Senat menolak perjanjian yang melarang uji coba tersebut pada tahun 1999. Korea Utara adalah satu-satunya negara yang melakukan uji coba senjata nuklir pada abad ke-21.

Rusia, yang menarik diri dari Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir Komprehensif pada tahun 2023, baru-baru ini memperingatkan AS agar tidak melanjutkan uji coba nuklir eksplosif. Moskow juga mengubah doktrin nuklirnya pada bulan November untuk mengizinkan penggunaannya dalam berbagai skenario militer. Calon pilihan Trump untuk memimpin Pentagon, Pete Hegseth, menyatakan pada sidang konfirmasinya hari Selasa bahwa dia mendukung penggunaan kewenangan produksi perang darurat untuk mempercepat modernisasi senjata nuklir.