Kerusuhan di Eldoret, Polisi Tembak Gas Air Mata saat Demonstrasi Wakil Presiden
Protes yang terjadi di beberapa wilayah Kenya pada Selasa 25 Juni 2024 bermula dari suasana meriah. Namun, seiring bertambahnya massa, polisi menembakkan gas air mata di Kawasan Pusat Bisnis Nairobi dan lingkungan miskin Kibera. Para pengunjuk rasa berjongkok untuk berlindung dan melemparkan batu ke arah garis polisi.
Orang-orang naik ke kendaraan polisi yang berhenti di jalan-jalan kota. Di Eldoret, wilayah asal Wakil Presiden Ruto di Kenya barat, polisi juga menggunakan gas air mata sebagai upaya untuk mengatasi kerumunan pengunjuk rasa yang mengisi jalan-jalan. Banyak toko dan usaha juga tutup karena khawatir akan terjadinya kekerasan.
Namun, pengunjuk rasa berhasil melibatkan polisi dalam situasi yang sulit dan terpaksa diusir ketika mereka berusaha menggempur kompleks parlemen. Sumber api terlihat muncul dari gedung parlemen. Menurut laporan dari Reuters, polisi akhirnya menggunakan senjata api setelah upaya mereka dengan gas air mata dan meriam air tidak berhasil mendorong kerumunan untuk bubar.
Aksi protes di Kenya berawal dari perjuangan negara tersebut untuk memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Inggris pada tahun 1950an dan 1960an. Warisan kolonialisme, yang meninggalkan warisan kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial, telah berkontribusi terhadap protes berkala di Kenya selama bertahun-tahun. Negara ini juga menghadapi ketidakstabilan politik, korupsi, ketegangan etnis, dan kekerasan pemilu, yang sering kali memicu demonstrasi dan kerusuhan sipil.
Pendukung Wakil Presiden Ruto, yang memprotes perlakuan buruk yang dirasakan oleh pemerintah, memainkan peran penting dalam demonstrasi tersebut. Para pemimpin oposisi dan kelompok masyarakat sipil lainnya juga terlibat dalam memobilisasi dan mengorganisir protes terhadap isu-isu seperti korupsi, kemiskinan, dan pelanggaran hak asasi manusia di Kenya.
Dampak protes ini sangat besar karena menyebabkan kekerasan, cedera, dan kematian di kalangan pengunjuk rasa dan pasukan keamanan. Penggunaan gas air mata, meriam air, dan peluru tajam oleh polisi untuk membubarkan massa telah menimbulkan kekhawatiran mengenai pelanggaran hak asasi manusia dan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Hancurnya properti, termasuk gedung-gedung pemerintah dan tempat usaha, juga menyebabkan gangguan ekonomi dan sosial di daerah yang terkena dampak.
Protes tersebut menyoroti keluhan dan frustrasi mendasar masyarakat Kenya, termasuk marginalisasi politik, kurangnya keterwakilan, kesulitan ekonomi, dan kesenjangan sosial. Respons pemerintah terhadap protes tersebut, termasuk penggunaan kekerasan dan penindasan, semakin meningkatkan ketegangan dan mengikis kepercayaan terhadap pihak berwenang.
Protes ini telah menjadi katalisator perubahan sosial dan politik di Kenya, meningkatkan kesadaran akan perlunya reformasi dan akuntabilitas. Mereka juga telah memberdayakan warga negara untuk menuntut hak-hak mereka dan meminta pertanggungjawaban pemimpin mereka atas tindakan mereka. Protes ini menunjukkan ketangguhan dan tekad rakyat Kenya dalam menghadapi kesulitan dan penindasan.
Dari sudut pandang negatif, protes ini juga mengungkap permasalahan dan tantangan mendalam yang dihadapi negara ini, termasuk korupsi, impunitas, dan kurangnya kemauan politik untuk mengatasi akar penyebab ketidakpuasan. Kekerasan dan kekacauan yang menyertai protes telah merusak supremasi hukum dan stabilitas di Kenya, serta berisiko menimbulkan polarisasi dan konflik lebih lanjut di masa depan.
Protes di Kenya menyoroti dinamika kekuasaan, politik, dan perubahan sosial yang kompleks di negara tersebut. Hal ini mencerminkan keluhan dan frustrasi mendalam masyarakat Kenya, tantangan tata kelola pemerintahan dan demokrasi, serta aspirasi masyarakat yang lebih adil dan setara. Perkembangan masa depan terkait protes ini akan bergantung pada respons pemerintah, tindakan para pengunjuk rasa, dan keterlibatan masyarakat sipil dalam mengadvokasi reformasi dan kemajuan yang berarti di Kenya.